IDEOLOGI, PANCASILA, DAN KONSTITUSI
BAB
I
PENDAHULUAN
Pada prinsipnya
terdapat tiga arti utama dari kata ideologi, yaitu (1) ideologi sebagai
kesadaran palsu; (2) ideologi dalam arti netral; dan (3) ideologi dalam arti
keyakinan yang tidak ilmiah.[1]
Ideologi dalam arti yang pertama, yaitu sebagai kesadaran palsu biasanya
dipergunakan oleh kalangan filosof dan ilmuwan sosial. Ideologi
adalah teori-teori yang tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan pada
kepentingan pihak yang mempropagandakannya. Ideologi juga dilihat sebagai
sarana kelas atau kelompok sosial tertentu yang berkuasa untuk melegitimasikan
kekuasaannya.
Arti kedua adalah ideologi dalam arti netral. Dalam hal ini ideologi adalah
keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap dasar suatu kelompok sosial
atau kebudayaan tertentu. Arti kedua ini terutama ditemukan dalam negara-negara
yang menganggap penting adanya suatu “ideologi negara”. Disebut dalam arti
netral karena baik buruknya tergantung kepada isi ideologi tersebut.
Arti ketiga, ideologi sebagai keyakinan yang tidak ilmiah, biasanya
digunakan dalam filsafat dan ilmu-ilmu sosial yang positivistik. Segala
pemikiran yang tidak dapat dibuktikan secara logis-matematis atau empiris
adalah suatu ideologi. Segala masalah etis dan moral, asumsi-asumsi normatif,
dan pemikiran-pemikiran metafisis termasuk dalam wilayah ideologi.[2]
Dari tiga arti kata ideologi tersebut, yang dimaksudkan dalam pembahasan
ini adalah ideologi dalam arti netral, yaitu sebagai sistem berpikir dan tata
nilai dari suatu kelompok. Ideologi dalam arti netral tersebut ditemukan
wujudnya dalam ideologi negara atau ideologi bangsa. Hal ini sesuai dengan
pembahasan Pancasila sebagai ideologi negara Republik Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Tipe-Tipe Ideologi
Terdapat dua tipe ideologi sebagai ideologi suatu negara.
Kedua tipe tersebut adalah ideologi tertutup dan ideologi terbuka.[3]
Ideologi tertutup adalah ajaran atau pandangan dunia atau filsafat yang
menentukan tujuan-tujuan dan norma-norma politik dan sosial, yang ditasbihkan
sebagai kebenaran yang tidak boleh dipersoalkan lagi, melainkan harus diterima
sebagai sesuatu yang sudah jadi dan harus dipatuhi. Kebenaran suatu ideologi
tertutup tidak boleh dipermasalahkan berdasarkan nilai-nilai atau
prinsip-prinsip moral yang lain. Isinya dogmatis dan apriori sehingga tidak
dapat dirubah atau dimodifikasi berdasarkan pengalaman sosial. Karena itu
ideologi ini tidak mentolerir pandangan dunia atau nilai-nilai lain.
Salah satu ciri khas suatu ideologi tertutup adalah tidak
hanya menentukan kebenaran nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar saja, tetapi
juga menentukan hal-hal yang bersifat konkret operasional. Ideologi tertutup
tidak mengakui hak masing-masing orang untuk memiliki keyakinan dan
pertimbangannya sendiri. Ideologi tertutup menuntut ketaatan tanpa reserve.
Ciri lain dari suatu ideologi tertutup adalah tidak
bersumber dari masyarakat, melainkan dari pikiran elit yang harus
dipropagandakan kepada masyarakat. Sebaliknya, baik-buruknya pandangan yang
muncul dan berkembang dalam masyarakat dinilai sesuai tidaknya dengan ideologi
tersebut. Dengan sendirinya ideologi tertutup tersebut harus dipaksakan berlaku
dan dipatuhi masyarakat oleh elit tertentu, yang berarti bersifat otoriter dan
dijalankan dengan cara yang totaliter.
Contoh paling baik dari ideologi tertutup adalah
Marxisme-Leninisme. Ideologi yang dikembangkan dari pemikiran Karl Marx yang
dilanjutkan oleh Vladimir Ilianov Lenin ini berisi sistem berpikir mulai dari
tataran nilai dan prinsip dasar dan dikembangkan hingga praktis operasional
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ideologi
Marxisme-Leninisme meliputi ajaran dan paham tentang (a) hakikat realitas alam
berupa ajaran materialisme dialektis dan ateisme; (b) ajaran makna sejarah
sebagai materialisme historis; (c) norma-norma rigid bagaimana masyarakat harus
ditata, bahkan tentang bagaimana individu harus hidup; dan (d) legitimasi
monopoli kekuasaan oleh sekelompok orang atas nama kaum proletar.[4]
Tipe kedua adalah ideologi terbuka. Ideologi terbuka
hanya berisi orientasi dasar, sedangkan penerjemahannya ke dalam tujuan-tujuan
dan norma-norma sosial-politik selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan
dengan nilai dan prinsip moral yang berkembang di masyarakat. Operasional
cita-cita yang akan dicapai tidak dapat ditentukan secara apriori, melainkan
harus disepakati secara demokratis. Dengan sendirinya ideologi terbuka bersifat
inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat dipakai melegitimasi kekuasaan
sekelompok orang. Ideologi terbuka hanya dapat ada dan mengada dalam sistem
yang demokratis.
B.
Ideologi dan Konstitusi: Pancasila Sebagai Ideologi
Terbuka
Organisasi dimaksud beragam bentuk
dan kompleksitas strukturnya. Negara sebagai salah satu bentuk organisasi, pada
umumnya selalu memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau
Undang-Undang Dasar. Hanya Inggris dan Israel saja yang sampai sekarang
dikenal tidak memiliki satu naskah tertulis yang disebut Undang-Undang Dasar.
Undang-Undang Dasar di kedua negara ini tidak pernah dibuat, tetapi tumbuh menjadi konstitusi dalam pengalaman praktek ketatanegaraan. Namun para ahli
tetap dapat menyebut adanya konstitusi dalam konteks hukum tata negara Inggris.
Konstitusionalisme di zaman sekarang dianggap sebagai
suatu konsep yang niscaya bagi setiap negara modern. Seperti
dikemukakan oleh C.J. Friedrich
sebagaimana dikutip di atas, “constitutionalism is an institutionalized
system of effective, regularized restraints upon governmental action”.
Basis pokoknya adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di
antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan
negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar
kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui
pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara.[5]
Kata kuncinya adalah konsensus atau general agreement. Jika kesepakatan
umum itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi kekuasaan negara yang bersangkutan,
dan pada gilirannya perang saudara (civil war)
atau revolusi dapat terjadi. Hal ini misalnya, tercermin dalam tiga peristiwa
besar dalam sejarah umat manusia, yaitu revolusi penting yang terjadi di Perancis
tahun 1789, di Amerika pada
tahun 1776, dan di Rusia pada
tahun 1917, ataupun peristiwa besar di Indonesia
pada tahun 1945, 1965 dan 1998.
Konsensus
yang menjamin tegaknya konstitusionalisme di zaman modern pada umumnya
dipahami bersandar pada tiga elemen kesepakatan (consensus), yaitu[6]:
1. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general
acceptance of the same philosophy of government).
2. Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan
pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the
basis of government).
3. Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur
ketatanegaraan (the form of institutions
and procedures).
Di
Indonesia, dasar-dasar filosofis yang dimaksudkan itulah yang biasa disebut
sebagai Pancasila yang berarti lima sila atau lima prinsip dasar untuk mencapai
atau mewujudkan empat tujuan bernegara. Lima prinsip dasar Pancasila itu mencakup
sila atau prinsip (i) Ketuhanan Yang Maha Esa; (ii) Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab; (iii) Persatuan Indonesia; (iv) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dan (v) Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima sila tersebut dipakai sebagai dasar
filosofis-ideologis untuk mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal bernegara,
yaitu: (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia; (ii) meningkatkan kesejahteraan umum; (ii) mencerdaskan kehidupan
bangsa; dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial.
Keberadaan Pancasila sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee
(cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common
platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat
dalam konteks kehidupan bernegara dalam kesepakatan pertama penyangga
konstitusionalisme menunjukkan hakikat Pancasila sebagai ideologi terbuka.
Terminologi Pancasila sebagai ideologi terbuka sesungguhnya telah dikembangkan
pada masa orde baru. Namun dalam pelaksanaannya pada masa itu lebih menunjukkan
Pancasila sebagai ideologi tertutup. Pancasila menjadi alat hegemoni yang
secara apriori ditentukan oleh elit kekuasaan untuk mengekang kebebasan dan
melegitimasi kekuasaan. Kebenaran Pancasila pada saat itu tidak hanya mencakup
cita-cita dan nilai dasar, tetapi juga meliputi kebijakan praktis operasional
yang tidak dapat dipertanyakan, tetapi harus diterima dan dipatuhi oleh masyarakat.
Konsekuensi Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah
membuka ruang membentuk kesepakatan masyarakat bagaimana mencapai cita-cita dan
nilai-nilai dasar tersebut. Kesepakatan tersebut adalah kesepakat kedua dan
ketiga sebagai penyangga konstitusionalisme, yaitu kesepakatan tentang the rule
of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government) dan Kesepakatan
tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures).
Kesepakatan-kesepakatan tersebut hanya mungkin dicapai jika sistem yang
dikembangkan adalah sistem demokrasi.
Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia memiliki
perbedaan dengan sistem kapitalisme-liberal maupun sosialisme-komunis.
Pancasila mengakui dan melindungi baik hak-hak individu maupun hak masyarakat
baik di bidang ekonomi maupun politik. Dengan demikian ideologi kita mengakui
secara selaras baik kolektivisme maupun individualisme. Demokrasi yang
dikembangkan, bukan demokrasi politik semata seperti dalam ideologi
liberal-kapitalis, tetapi juga demokrasi ekonomi.[7]
C.
Pancasila Pasca Amandemen UUD 1945
Perubahan UUD 1945 sebagai agenda utama era reformasi
mulai dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1999. Pada
Sidang Tahunan MPR 1999, seluruh fraksi di MPR membuat kesepakatan tentang arah
perubahan UUD 1945, yaitu:[8]
- sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;
- sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;
- sepakat untuk mempertahankan sistem presidensiil (dalam pengertian sekaligus menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil);
- sepakat untuk memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD 1945; dan
- sepakat untuk menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945.
Perubahan UUD 1945 kemudian dilakukan secara bertahap dan
menjadi salah satu agenda Sidang Tahunan MPR dari tahun 1999 hingga perubahan
keempat pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002 bersamaan dengan kesepakatan
dibentuknya Komisi Konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian secara
komprehensif tentang perubahan UUD 1945 berdasarkan Ketetapan MPR No.
I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi.
Perubahan Pertama dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR
Tahun 1999 yang arahnya adalah membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat
kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif. Perubahan
Kedua dilakukan dalam sidang Tahunan MPR Tahun 2000 meliputi masalah wilayah
negara dan pembagian pemerintahan daerah, menyempurnakan perubahan pertama
dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan ketentuan-ketentuan yang terperinci
tentang HAM.[9]
Perubahan Ketiga yang ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2001 meliputi
ketentuan tentang Asas-asas landasan bernegara, kelembagaan negara dan hubungan
antar lembaga negara, dan ketentuan-ketentuan tentang Pemilihan Umum.[10]
Perubahan keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR
Tahun 2002. Materi perubahan pada Perubahan Keempat adalah ketentuan tentang
kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, penghapusan Dewan
Pertimbangan Agung (DPA), ketentuan tentang pendidikan dan kebudayaan,
ketentuan tentang perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan
serta aturan tambahan.[11]
Perubahan-perubahan tersebut diatas meliputi hampir
keseluruhan materi UUD 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir
ketentuan, maka setelah empat kali mengalami perubahan, materi muatan UUD 1945
mencakup 199 butir ketentuan. Namun sesuai dengan kesepakatan MPR yang kemudian
menjadi lampiran dari Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999, Pembukaan UUD 1945 tidak
akan diubah. Pembukaan UUD 1945 memuat cita-cita bersama sebagai puncak
abstraksi yang mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama
warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau
kemajemukan. Pembukaan UUD 1945 juga memuat tujuan-tujuan atau cita-cita
bersama yang biasa juga disebut sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee
(cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common
platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat
dalam konteks kehidupan bernegara. Inilah
yang oleh William G. Andrews disebut sebagai Kesepakatan (consensus)
pertama.
Pancasila
sebagai dasar-dasar filosofis terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan
kesepakatan pertama penyangga konstitusionalisme. Dengan tidak diubahnya
Pembukaan UUD 1945, maka tidak berubah pula kedudukan Pancasila sebagai
dasar-dasar filosofis bangunan Negara Republik Indonesia. Yang berubah adalah
sistem dan institusi untuk mewujudkan cita-cita berdasarkan nilai-nilai
Pancasila. Hal ini sesuai dengan makna Pancasila sebagai ideologi
terbuka yang hanya dapat dijalankan dalam sistem yang demokratis dan
bersentuhan dengan nilai-nilai dan perkembangan masyarakat.
D.
Pancasila Sebagai Materi Konstitusi
Telah diuraikan bahwa dalam kehidupan bangsa Indonesia,
Pancasila adalah filosofische grondslag dan common platforms atau
kalimatun sawa. Pancasila adalah dasar negara. Pertanyaan selanjutnya
adalah bagaimana kedudukan Pancasila dalam tata hukum nasional?
Salah satu masalah pada masa lalu yang mengakibatkan
Pancasila cenderung digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan dan lebih
menjadi ideologi tertutup adalah karena adanya pendapat bahwa Pancasila berada
di atas dan diluar konstitusi.
Pancasila lahir dan dirumuskan dalam persidangan Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas
dasar negara, khususnya dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Soekarno
menyebut dasar negara sebagai Philosofische grondslag sebagai fondamen,
filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya yang diatasnya akan didirikan bangunan
negara Indonesia. Soekarno juga menyebutnya dengan istilah Weltanschauung
atau pandangan hidup. Pancasila adalah lima dasar atau lima asas.[12]
E.
Peran Mahkamah Konstitusi
Di Indonesia, Mahkamah Konstitusi merupakan produk dari
perubahan keempat UUD 1945. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Hal ini berarti cabang kekuasaan kehakiman merupakan satu kesatuan sistem yang
dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang mencerminkan puncak
kedaulatan hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945 Agustus 2003. Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia kemudian diatur dengan Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang disahkan pada tanggal 13 Agustus
2003.[13]
Namun lembaga Mahkamah Konstitusi sendiri baru benar-benar terbentuk pada
tanggal 17 Agustus 2003 setelah pengucapan sumpah jabatan sembilan hakim
konstitusi pada tanggal 16 Agustus 2003.[14]
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk; (a) menguji undang-undang terhadap UUD 1945; (b) memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; (c)
memutus pembubaran partai politik; dan (d) memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum.[15]
Selain itu Mahkamah Konstitusi juga (e) wajib memberikan putusan atas pendapat
DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.[16]
Sedangkan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang lain dapat
dilihat sebagai upaya penataan hubungan kelembagaan negara dan
institusi-institusi demokrasi berdasarkan prinsip supremasi hukum. Sebelum
terbentuknya Mahkamah Konstitusi dengan kewenangannya tersebut, hubungan kelembagaan
negara dan institusi demokrasi lebih didasarkan pada hubungan yang bersifat
politik. Akibatnya, sebuah lembaga dapat mendominasi atau mengkooptasi lembaga
lain, atau terjadi pertentangan antar lembaga atau institusi yang melahirkan
krisis konstitusional. Hal ini menimbulkan ketiadaan kepastian hukum dan
kotraproduktif terhadap pengembangan budaya demokrasi. Pengaturan kehidupan politik
kenegaraan secara umum juga telah berkembang sebagai bentuk “the
constitutionalization of democratic politics”.[17]
Hal ini semata-mata untuk mewujudkan supremasi hukum, kepastian hukum, dan
perkembangan demokrasi itu sendiri, berdasarkan konsep negara hukum yang
demokratis (democratische reshtsstaat).
Kewenangan
pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar merupakan kewenangan
Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the
constitution). Kewenangan ini dilaksanakan untuk menjaga ketentuan
undang-undang agar tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan atau merugikan hak
konstitusional warga negara. Batu ujian yang digunakan tentu saja adalah UUD
1945 yang terdiri dari Pembukaan dan Pasal-pasal. Yang dijadikan alat untuk
menguji apakah suatu ketentuan undang-undang melanggar hak konstitusional atau
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar tidak hanya Pasal-Pasal, melainkan juga
cita-cita dan prinsip dasar yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945.
Dalam pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi,
berbagai permasalahan baru yang mendasar senantiasa muncul dalam proses
penataan kehidupan bernegara terkait dengan dasar negara Pancasila dan
perkembangan dunia yang didominasi oleh ideologi kapitalisme. Permasalahan
tersebut diantaranya adalah; (a) hubungan ekonomi dengan wilayah hukum dan
politik; (b) kerangka institusional negara; (c) tujuan dan peran pemerintahan;
(d) akibat dan batasan intervensi negara dalam masyarakat; dan (e) masalah
kedaulatan negara berhadapan dengan perkembangan hukum internasional.[18]
Putusan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 yang telah dibuat oleh Mahkamah Konstitusi
terhadap berbagai permohonan pengujian yang diajukan juga selalu melihat secara
utuh UUD 1945. Dalam putusan-putusan tersebut memuat pengertian-pengertian dan
konsep-konsep terkait dengan pemahaman suatu ketentuan dalam konstitusi
berdasarkan cita negara (staatside)dan landasan filosofis (filosofische
grondslag) bangsa Indonesia. Hingga saat ini telah terdapat berbagai
putusan Mahkamah Konstitusi baik di bidang politik, ekonomi, dan sosial terkait
dengan ketentuan dalam UUD 1945 yang mengelaborasi nilai-nilai dasar Pancasila
sebagai batu ujian atas permohonan pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar.
Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi secara
otomatis juga berarti sebagai penjaga Pancasila sebagai materi konstitusi dan
mempertahankannya sebagai ideologi terbuka. Mahkamah Konstitusi mengelaborasi
nilai-nilai dan prinsip dasar Pancasila untuk menentukan apakah sesuatu
ketentuan undang-undang bertentangan dengan konstitusi atau tidak. Disamping
itu, melalui pelaksanaan kewenangannya, Mahkamah Konstitusi tetap menjaga Pancasila
sebagai ideologi terbuka dengan senantiasa mempertimbangkan perkembangan
nilai-nilai dalam masyarakat dan masyarakat internasional sehingga tidak
menjadi ideologi tertutup yang dapat disalahgunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan
belaka. Hal ini juga dapat dilakukan dalam pelaksanaan kewenangan yang lain
terutama dalam hal sengketa kewenangan lembaga negara, pembubaran partai
politik, dan memutus usulan DPR untuk pemberhentian Presiden dan atau Wakil
Presiden.
BAB
III
PENUTUP
Cita-cita ideal bernegara berlaku bagi segenap bangsa Indonesia tanpa
membedakan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini merupakan kemajuan
tersendiri bagi bangsa Indonesia dibandingkan beberapa konstitusi negara lain,
bahkan di Amerika dan Perancis, yang semula hanya menyebutkan kata “man”
sebagai warga negara. Salah satu sila dari Pancasila adalah “Kemanusiaan yang
Adil dan Beradab”. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu penyangga bangsa
Indonesia adalah prinsip kemanusiaan yang adil, yang dengan sendirinya
menentang diskriminasi baik berdasarkan ras, agama, keyakinan politik, maupun
gender.
Prinsip-prinsip dasar tersebut juga dapat dilihat dari perumusan ketentuan
UUD 1945 pada Bab XA tentang Hak Asasi Manusia. Seluruh ketentuan masalah hak
asasi manusia dalam UUD 1945 menyebutkan “setiap orang” atau “setiap warga
negara” yang menunjukkan tidak ada pembedaan berdasarkan gender. Bahkan dalam
Pasal 28I UUD 1945 disebutkan “Setiap
orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa
pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu”.
Salah satu wujud affirmative action
ini adalah adanya persetujuan bersama antara DPR dan pemerintah tentang kuota
minimal 30 persen calon anggota legislatif, baik tingkat pusat maupun daerah,
yang diusulkan oleh partai-partai politik peserta Pemilu 2004. Hanya saja
disayangkan rumusan ketentuan mengenai hal itu, yakni Pasal 65 ayat (1) UU
Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD[19]
tersebut, tidak bersifat memaksa (imperatif) karena menggunakan kata ”dapat”,
bukan kata ”wajib” atau ”harus”. Akibatnya, para anggota lembaga legislatif,
baik di tingkat pusat maupun daerah, hasil Pemilu 2004 tidak memenuhi
keterwakilan 30 persen adalah kaum perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
Franz
Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Jakarta; Kanisius, 1992),
hal. 230.
Martin
Hewitt, Welfare, Ideology and Need, Developing Perspectives on the Welfare
State, (Maryland: Harvester Wheatsheaf, 1992), hal. 1 dan 8.
Jimly
Asshiddiqie, “Negara Hukum, Demokrasi, dan Dunia Usaha”, makalah
disampaikan dalam Orasi Ilmiah Wisuda XX Universitas Sahid, Jakarta 20
September 2005.
Teori
Hans Kelsen ini dapat dipelajari dalam tiga bukunya yaitu Pure Theory of
RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945,
(Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
2004), hal. 117, 121, 128 – 129.
[1] Franz Magnis-Suseno, Filsafat
Sebagai Ilmu Kritis, (Jakarta; Kanisius, 1992), hal. 230.
[2] F. Budi Hardiman, (Jakarta:
Penerbit Kanisius, 1998), hal. xvii.
[4] Ibid., hal. 232-233.
[5] William G. Andrews, (New Jersey:
Van Nostrand Company, 1968), hal. 9.
[6] Ibid., hal.12-13.
[7] Lihat, Jimly Asshiddiqie,
“Negara Hukum, Demokrasi, dan Dunia Usaha”, makalah disampaikan dalam Orasi
Ilmiah Wisuda XX Universitas Sahid, Jakarta 20 September 2005.
[8] Lima kesepakatan tersebut
dilampirkan dalam Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999 tentang Penugasan Badan Pekerja
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia untuk Melanjutkan Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[9] Ditetapkan pada tanggal 18
Agustus 2000.
[10] Ditetapkan pada tanggal 9
November 2001.
[11] Ditetapkan pada tanggal 10
Agustus 2002.
[12] RM. A.B.
Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Pusat Studi Hukum
Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 117, 121, 128 –
129.
[13] Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4316.
[14]
Sembilan hakim konstitusi pada MKRI yang pertama ditetapkan berdasarkan
Keputusan Presiden No. 147/M Tahun 2003, tanggal 15 Agustus 2003.
[15] Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 junto Pasal 10
ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
[16] Pasal 24C ayat (2) UUD 1945, juncto Pasal 10 ayat (2) dan (3)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
[17] Richard H. Pildes, The
Constitutionalization of Democratic Politics, Harvard Law Review, Vol.
118:1, 2004, hal. 2-3, 10.
[18] Bob Jessop, State Theory,
(Cambridge: Polity Press, 1990), hal. 48.
[19]
Lembaran Negara RI Tahun 2003 Nomor 37 dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor
4277.
Komentar
Posting Komentar