REVITALISASI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
REVITALISASI
PENDIDIKAN
ISLAM DI INDONESIA
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan jendela pembuka bagi mimpi dan cita-cita seseorang
didalam menjalani hidup Nabi SAW bersabda: “barang siapa yang memperoleh
kebaikan didunia, maka tuntutlah ilmu dan barang siapa yang lebih memperoleh
kebaikan diakhirat maka tuntutlah ilmu dan barang siapa yang ingin memperoleh
kebaikan di kedua-duanya, maka tuntutlah ilmu (H.R. Muslim)[1]
Syari’at Islam tidak akan dihayati dan diamalkan orang kalau hanya
diajarkan saja. Tetapi harus di didik melalui proses pendidikan, Nabi telah
mengajak orang untuk berteman dan beramal serta berahklak baik sesuai dengan
ajaran Islam dengan berbagai metode dan pendekatan dari segi kita melihat,
bahwa pendidikan Islam itu lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental
yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sindiri mapun
orang lain. Dalam segi lain, pendidikan Islam tidak hanya bersifat teoritis
saja, tetapi juga praktis.
A. Pengertian Pendidikan
Islam
Bila kita akan melihat pengertian pendidikan. Dari
segi bahasa maka kita harus melihat kepada kata arab karena ajaran Islam itu
diturunkan didalam Bahasa Arab tersebut, kata “Pendidikan” yang umum kita
gunakan sekarang dalam bahasa arabnya adalah “Tarbiyah”, dengan kata kerja
“rabba”, sedangkan pendidikan Islam dalam Bahasa Arabnya adalah “Tarbiyah
Islamiyah”
Pengertian Pendidikan seperti yang lazim difahami
sekarang belum terdapat dizaman Nabi, tetapi usaha yang dilakukan oleh Nabi
dalam menyampaikan seruan agama dengan berdakwah, menyampaikan ajaran, memberi
contoh, melatih ketrampilan berbuat, memberi motivasi dan menciptakan
lingkungan sosial yang mendukung pelaksanaan ide pembentukan pribadi muslim
itu, telah mencakup arti pendidikan dalam pengertian sekarang.[2]
B. Revitasi Pendidikan Islam
di Indonesia
1.
Academic Exellence Pendidikan
Islam
Pendidikan madrasah lahir sebagai jawaban atas
kebutuhan belajar/pendidikan yang tumbuh dimasyarakat sehingga eksistensinya
bergantung pada masyarakat sebagai pengelolaannya, kehadiran madrasah
dilatarbelakangi oleh keinginan untuk memberlakukan secara seimbang antara Ilmu
Agama dan Ilmu Umum dalam kegiatan pendidikan dikalangan umat Islam. (Bawani.
1987;107).
Penjelasan diatas mengandaikan adanya dua idealitas
yang harus di pegang oleh pendidikan madrasah:
Madrasah sebagai intitusi pendidikan harus dikembalikan untuk kepentingan
masyarakat, konsolidasi interaktif antara madrasah dan masyarakat harus terus
dibina bagi tercapainya tujuan bersama di sini madrasah juga berpeluang untuk
kembali, ke kerangka awal sebagai (School Based Community) (sekolah berbasis
masyarakat). Madrasah juga harus diharapkan mampu menjadi centre of learning
society, yaitu mampu menjadi perekat masyarakat dalam melaksanakan aktivitas
pendidikan. Hal ini dimakasudkan sebagai antisipasi kecenderungan masyarakat
akan masa depan yaitu masyarakat yang cakap didalam penguasaan sains dan
teknologi dan sekaligus kokoh didalam melestarikan nilai dan budaya sendiri.
2.
Memahami Budaya Pesantren
Sebagai instusi pendidikan, pesantren adalah wujud
kesinambungan budaya Hindu Buda, yang diislamkan secara damai, tanpa bertujuan
mereduksi peran” Pesantren dalam segala dimensinya, karakteristik utama budaya
pesantren diantaranya adalah:
Modeling Uswatun Khasanah, modeling dalam ajaran Islam bisa
diidentifikasikan dengan Uswatun Khasanah yakni contoh yang ideal yang
semestinya diikuti dalam komunitas ini, tidak menyimpang dari dasar ajaran
Islam modeling dalam dunia pesantren, agaknya telah diartikan sebagai
tasyabbuh, sebuah ajaran penting yang populer.
Yang perlu ditegaskan disini adalah bahwa modeling
adalah seorang tokoh pemimpin merupakan bagian penting dalam filsafat Jawa,
Wali Songo yang menjadi kiblat kaum santri tentu berkiblat pada guru besar dan
pemimpin muslim “Nabi Muhammad SAW”. Para wali
selalu loyal pada misinya sebagai penerus Nabi yang terlihat secara fisik dalam
rekayasa sosial.
Ilusi utama mereka adalah menerangkan, menjelaskan dan memecahkan
persoalan” masyarakat dan memberi model ideal bagi kehidupan sosial, agama
masyarakat, model wali songo yang diikuti para Ulama dikemudian hari telah
menunjukkan integrasi anatara pemimpin agama dan masyarakat yang membawa mereka
pada kepemimpinan protektif dan efektif, pendidikan wali songo ditujukan pada
masa, bisa dilihat dari rekayasa mereka, terhadap pendirian pesantren,
pendidikan yang merakyat ini tidak diragukan lagi adalah induk pendidikan Islam
di Indonesia pendekatan pendidikan wali songo dewasa ini telah tersosialisasi
secara luas dalam komunitas ini, seperti kesalahan sebagai cara hidup kaum
santri serta pemahaman dan pengarifan terhadap budaya lokal.[3]
3.
Pendidikan Islam dalam
Pengembangan Masyarakat Madani
Pendidikan agama Islam di Indonesia dewasa ini
mendapat sorotan tajam dari masayarakat sebagaian pengamat pendidikan berpendapat
bahwa krisis ekonomi dan politik yang melanda bangsa Indonesia disebabkan
krisisnya modal yang menandakan PAI gagal dalam membina masyarakat khususnya
masyarakat peserta didik untuk menajdi insan yang beriman dan bertaqwa yang
mampu mencegah umat Islam dari praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme,
yang didorong oleh sikap hidup konsumeristik, materialistik dan hedaristik.
Untuk memenuhi aspirasi masyarakat seoptimal mungkin
dalam bidang pendidikan tersebut pemerintah dan masyarakat telah melakukan banyak
langkah strategis, salah satunya yaitu mentranformasikan lembaga “Pendidikan
Islam Tradisional Menjadi Bagian Dari Sistem Pendidikan Nasional yang maju
seperti MI desetarakan dengan SD, Tsanawiyah dengan SMP danseterusnya.
Tranformasi yang berlangsung pada “Lembaga Pendidikan Islam Tradisional”
tersebut telah membuahkan perkembangan jumlah murid dan santri berlipat ganda.
Pada dasarwarsa sembilan dalam pembinaan dan pengembangan moralitas bangsa
pendidikan Islam itu merupakan salah satu komponen dari keseluruhan aspek
pendidikan.[4]
4.
Pesantren Baru Untuk Indonesia Baru
Dalam dunia pendidikan sebagaimana yang dinyatakan Dr.
Kihajar Dewantara dikenal adanya istilah, “Tri Pusat Pendidikan” yaitu tiga
lingkungan pendidikan yang dinyatakan berpengaruh pada perkembangan kepribadian
anak didik, ketiga lembaga pendidikan tersebut adalah keluarga, sekolah, dan
masyarakat, dari ketiga pendidikan diatas pendidikan sekolah dapat dikatakan
sebagai pendidikan yang sebenarnya.
Lembaga pendidikan sekolah harus mampu menciptakan
kekebalan diri peserta didik untuk melawan berbagai macam penyimpangan serta
membina mereka agar memiliki kejujuran ilmiyah dan kelobisan penalaran,
sehingga nantinya anak ddidik bisa bersikap kritis untuk menilai, membedakan
dan mengoreksi antara yang benar dan yang salah dalam berbagai ilmu pengetahuan
dan sejarah. Akan tetapi, harapan tersebut belum bisa terwujud. Lembaga
pendidikan masih belum mampu melahirkan alumnus yang memenuhi kriteria ideal
tersebut mengenai masalah ini, dikarenakan ada 2 hal:
a.
Karena kurangnya sarana dan
prasarana pendidikan yang memadai untuk mewujudkan pelaksanaan. Pendidikan yang
ideal, untuk membatasi hal tersebut diperlukan perhatian dari berbagai
pemerintah maupun masyarakat harus bekerjasama harus bersama-sama mewujudkan
sarana dan prasarana pendidikan yang memadai bagi anak didik.
b.
Karena kurangnya kurikulum
pendidikan. Kurikulum pendidikan sangat berpengaruh pada keluaran pendidikan.
Sehingga apabila kurikulum yang dipakai kurang memadai maka keluaran pun menajdi
tidak baik, akrena itu pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan juga
harus mengembangkan kurikulum pendidikannya menyesuaikan dengan ilmu
pengetahuan, sehingga keluaran dari pesantren sebagai salah satu lembaga
pendidikan adalah keluaran yang baik. Pesantren harus menyusun kurikulum
pendidikan yang seimbang dan komperhensif antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu
umum, sehingga pesantren bisa melahirkan insan yang bisa mengemban amanat
sebagai khalifah Allah di bumi yaitu mewujudkan kesejahteraan bagi segenap umat
manusia dan alam.
Pesantren merupakan suatu bentuk lingkungan “masyarakat” yang unik dan
memiliki tata nilai kehidupan yang positif, meski dalam tradisi fifik yang
sering kali sederhana, pesantren ternyata mampu mewujudkan tata kehidupan yang
unik, tersendiri, dan berbeda dari kebiasaan umum, dengan pola kehidupannya
yang khas dan mungkin tidak lumrah bagi orang luar pesantren, namun pendamban
hidup pesantren mempunyai pengaruh positif dengan demikian, dalam sistem
pendidikan pesantren ada dinamisme yang adaptif terhadap kemajuan eksternal
dengan pola kehidupan inilah pesantren mampu mempertahankan penerapan nilai-nilai
nya selama berabad-abad.[5]
5.
Masjid sebagai Lembaga Pendidikan
Islam
Proses pendidikan Islam didalam lingkungan masyarakat
umumnya bersifat nonformal, proses seperti ini umum terjadi melalui
lembaga-lemabag sosial atau organisasi sosial yang tidak terlalu mengikat
secara formal. Zaman rosulullah, proses bimbingan dilakukan melalui lingkungan
keluarga, beliau melakukan kunjungan setiap keluarga, dalam rangka melaksanakan
risalahnya. Proses pendidikan jalur di luar lingkungan keluarga, abru
dilaksanakan setelah syiar Islam semakin meluas, dan peradaban Islam berkembang
pesat, Hassan langsung mengemukakan bahwa sarana pendidikan Islam dari kaum
muslimin yang telah melembaga pada masa permulaan Islam adalah khutbah (surau),
madrasah (sekolah) dan masjid, bahkan Ramayutis menyebutkan bahwa terdapat tiga
lembaga sosial atau organisasi sosial yang hingga masa modern ini tetap menjadi
sarana pendidikan Islam. Ketiganya adalah masjid asrama, dan perkumpulan
remaja.
Pemahaman yang mendasar yang penting ditekankan disini
adalah bahwa masjid adalah tempat ibadah dan tempat pendidikan dalam pengertian
yang luas, menurut Quraish Shihab, kata “Masjid” bukan sekedar memiliki makna
sebagai tempat bersujud, masjid juga bermakna tempat melaksanakan segala
aktifitas manusia yang mencerminkan kepatuhan kepada Allah dalam kaitanya
dengan pendidikan Islam, masjid mempunyai dua fungsi yaitu fungsi edukatif dan
fungsi sosial sebagai mana sejarah telah mencatat, Masjid Nabawi di Madinah
telah mampu melaksanakan dua fungsi itu secara optimal, sehubungan dengan
fungsi tersebut, Quraish Shihab menyebutkan 10 peranan masjid yaitu:
1.
Tempat ibadah
2.
Tempat konsultasi dan komunitas
3.
Tempat pendidikan
4.
Tempat santunan sosial
5.
Tempat latihan militer
6.
Tempat pengobatan
7.
Tempat perdamaian dan pengadilan
8.
Tempat aula dan tempat menerima
tamu
9.
Tempat tawanan
10.
Pusat penerangan dan pembelaan
agama.
Begitu sentralnya fungsi masjid sehingga pada waktu
itu masjid disamping digunakan sebagai tempat pendidikan orang dewasa
(laki-laki), juga untuk tempat belajar kaum wanita dan anak-anak, bagi orang
dewasa, masjid berfungsi sebagai tempat belajar Al-Qur’an, Hadist, fiqih,
dasar-dasar agama, bahasa dan sastra arab sedangkan pendidikan bagi anak-anak
dilaksanakan disamping masjid, seperti belajar Al Qur’an agama, bahasa arab,
berhitung ketrampilan berkuda, memanah dan berenang.
Selanjutnya, pendidikan bagi anak-anak tidak
dilaksanakan disamping masjid, tetapi di kuttab-kuttab, hal itu dilakukan
karena ada kekhawatiran bahwa anak-anak akan merusak suasana masjid, terlebih
anak-anak belum terbiasa untuk memlihara kebersihan masjid, dari sekilas diatas
terlihat bahwa masjid berfungsi sebagai salah satu lembaga pendidikan dimasjid,
kaum muslim belajar agar tetap berpegang teguh pada keimanan, mencintai ilmu
pengetahuan, mempunyai kesadaran yang tinggi dan mampu menjalankan hak dan
kewajibannya kepada Allah, mengamalkan syari’at Islam dan mengegakkan keadilan.[6]
6.
Pendidikan Muhammadiyah dalam
Perspektif Sejarah
Tidak semua gerakan bersikap konfrontatif terhadap
pemerintah kolonial, salah satunya cenderung lunak, bahkan boleh dikatakan
cenderung kooperatif dengan pemerintahan kolonial seperti Muhammadiyah, sikap
ini musti harus diketahui sebagai strategi perjuangan Muhammadiyah, dalam usaha
menyaingi misi Kristen, yang mendapat proteksi dari pemerintah kolonial Belanda
secara demikian, maka sejak berdiri Muhammadiyah berhasil menempatkan dirinya
secara proposional yaitu berpendirian tidak melibatkan diri dalam persoalan
politik melawan penjajah dan justru memusatkan perhatiannya pada bidang
pendidikan kegamaan dan kesejahteraan masyarakat. Menurut Abdullah (1996:26)
pemilihan wadah perjuangan dalam bentuk organisasi sosial keagamaan dan bukan organisasi sosial politik
merupakan pilihan “jenius” untuk tidak mengatakan orsinil.
Fakta bahwa secara organisatoris Muhammadiyah selalu
konsisten sebagai gerakan keagamaan dan bukan organisasi politik semakin
memperoleh keberadaannya, bahkan berkat jasa-jasanya dalam tiga bidang tersebut
Deliar Noor (1985:87) mengatakan Muhammadiyah merupakan organisasi sosial
kegamaan yang terpenting.
Sebelum perang dunia II, dan mungkin juga sampai saat
ini, senada dengan perdagangan ini, Nakenersa (1983:4) berpendapat bahwa
“Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi Islam yang paling reprentatif di
dalam sejarah Indonesia
modern”.
Sekitar Lahirnya Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam amar ma’ruf
nahi mungkar, berakidah Islam dan bersumber oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal
18 Dzulhijjah 1330/18 November 1917 di Yogyakarta .
1.
Kebijakan “pemerintah kolonial
yang sangat merugikan Islam”.
2.
Adanya antek-antek Belanda yang
terdiri dari angakatan muda yang sudah mendapat pendidikan barat.
3.
Yang peling penting adalah gerakan
Nasrani.
Dipihak lain Shihab (1998:125-155) berpendapat bahwa
ada 3 faktor yang mendrong dirinya Muhammadiyah yaitu:
1.
Gagasan pembaharuan ditimur tengah
2.
Pertentangan internal dalam masyarakat
jawa
3.
Potensi misi kristen di Indonesia
Jika diatas dijelaskan bahwa Muhammadiyah tampak lunak
terhadap pemerintah kolonial, tapi sebenarnya dibalik itu ada perasaan
bermusuhan yang mendalam, hal inilah yang mendorong Muhammadiyah untuk
melakukan perlawanan dengan cara mengimbangi cara-cara misi Kristen, yaitu
dengan mendirikan sekolah, poliklinik, rumah sakit dan pantai sosial, sadar
akan arus kuat misi Kristen, maka Ahmad Dahlan pernah mengatakan bahwa “suatu
saat Islam mungkin akan lenyap dari bumi nusantara, tetapi Islam tidak akan
lenyap dari dunia.
Memperlihatkan latar belakang serta motivasi yang
mendorong berdirinya perserikatan ini, maka sebagai gerakan Islam, jelas bahwa
tugas dan tanggung jawab Muhammadiyah sebagai umat usahanya adalah “Dakwah
Islamiyah” menyeru masayarakat kepada ajaran Islam dan memberi pengertian
sebanar-benarnya tentang ajaran Islam, (Amar Ma’ruf Nahi Mungkar).
7.
Memotret Perkembangan Madrasah
Diniyah di Kabupaten Indramayu
Akar kultural madrasah diniyah secara eksistensial tidak
bisa dilepaskan dari pesantren, karena komunitas pendidik yang mengelola
madrasah diniyah itu sendiri adalah mayoritas santri-santri lulusan pesantren
yang mempraktekkan apa yang diperoleh dan dipelajari dari model pendidikan
pondok pesantren.
Karenanya tidak berlebihan jika madrasah diniyah
tersebut sebagai sub-kultur pesantren karena peran madrasah diniyah dalam
melestarikan nilai-nilai pendidikan keislaman dan tradisi-tradisi keagamaan
dari pesantren terhadap kehidupan masyarakat muslim.
Secara historis agak sulit untuk melacak kapan mulai
berdirinya madrasah diniyah sebagai sebuah institusi pendidikan di Indonesia ini.
Kesulitan ini disebabkan karena langkanya referensi ayng menjelaskan eksistensi
madrasah diniyah dalam konstelasi perkembangan institusi-institusi pendidikan
Islam. Tetapi kemunculan madrasah diniyah sebagai institusi pendidikan Islam
merupakan perpanjangan tangan dari pondok pesantren (Islamic Boarding School)
dengan model kelembagaan dan kurikulum sedikit berbeda. Jika pondok pesantren
didirikan oleh kyai dan karena motif pribadi dan dikelola berdasarkan
kepemimpinan personal-kharismatik kyai dan keluarganya yang concern dengan
pemberdayaan umat, sedangkan madrasah diniyah secara umum didirikan karena
inisiatif dan kerja kolektif beberapa orang yang memiliki concern dan tujuan
yang sama yaitu untuk menyelenggarakan pendidikan Islam bagi masyarakat
sekitarnya.
Secara sosiologis madrasah diniyah didirikan untuk
menfasilitasi masyarakat yang hendak menyekolahkan anaknya agar mau memperlajari
ilmu-ilmu keislaman dan berharap agar anaknya berperilaku akhlak-al-karimah
(akhlak mulia). Dan keunikan madrasah diniyah adalah proses pembelajarannya
dilaksanakan di waktu sore hari sekitar pukul 14.00 s.d 17.00. Pemanfaatan
waktu siang sampai dengan sore hari itu bukan tanpa alasan karena madrasah
diniyah melayani pendidikan anak-anak yang dipagi harinya ber-sekolah formal.
Sebagai institusi pendidikan Islam kerakyatan, peran madrasah diniyah dalam
proses internalisasi ajaran-ajaran Islam dan tradisi-tradisi keagamaan dalam
sebuah komunitas masyarakat muslim tidak dapat diabaikan begitu saja.
Madrasah diniyah memiliki signifikansi dalam
melestarikan kontinuitas pendidikan Islam dan nilai-nilai moral etis keislaman
bagi masyarakat. Peran ini semakin tidak layak diabaikan ketika memperhatikan
kuantitas masradah diniyah yang sangat tidak sedikit.
Di Kabupaten Indramayu sendiri, menurut data
pemerintah, terdapat sekitar 800 madrasah diniyah dengan jumlah pendidik
(ustadz) sebanyak 5.240 pada tahun 2005. jumlah sebanyak itu menggugah
pemerintah Kabupaten Indramayu untuk serius memberdayakan madrasah diniyah
dengan membuat kebijakan-kebijakan strategis yang mendorong peningkatan
kualitas madrasah diniyah antara lain dengan membuat Perda nomor 3 Tahun 2003 yang
antara lain mengharuskan setiap siswa lulusan SD/MI yang hendak melanjutkan
sekolah ke jenjang selanjutnya untuk memiliki ijazah madrasah diniyah. Meskipun
kemudian peraturan tersebut menjadi tidak efektif, karena lebih bersifat
seperti “anjuran” yang tidak direspon secara serius oelh kepala-kepala sekolah
SMP ataupun MTs, tetapi sebagai bagian dari upaya pemerintah dalam
memebrdayakan madrasah diniyah, hal tersebut patut dihargai.
Geliat kuantitatif madrasah diniyah di Kabupaten
Indramayu sangat terasa ketika Pemkab Indramayu bersama Dewan Legislatif
memasukkan madrasah diniyah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
pada sektor pendidikan dari total sekira 30% APBD untuk anggaran pendidikan.
Tetapi alokasi anggaran untuk madrasah diniyah tersebut baru sebatas pemberian
subsidi kesejahteraan bagi para ustadz madrasah diniyah dan belum memasukkan
bidang sarana prasarana dan operasional pendidikan sebagai komponen yang
penting mendapatkan pembiayaan. Alasannya tentu masih bersifat klasik: sumber
dana pemerintah kabupaten belum mencukupi untuk memebrdayakan madrasah diniyah
yang notabene seperti institusi pendidikan Islam “kelas dua” secara maksimal,
ditambah lagi dengan tidak adanya anggaran khusus dari pemerintah pusat untuk
madrasah diniyah. Jangankan untuk membiayai madrasah diniyah, untuk membiayai
sekolah-sekolah umum di lingkungan dinas pendiikan pun pemerintah masih
kerepotan.
Realitas “keterabaikan” madrasah diniyah di atas semestinya
tidak bisa dijadikan alasan para pengelola pendidikan madrasah diniyah untuk
tidak serius dan kehilangan motivasi untuk meningkatkan kualitas madrasah
diniyah. Bentuk kemandirian tersebut justru harus dijadikan alasan agar segenap
pengelola pendidikan madrasah diniyah secara terus menerus dan kreatif
menghidupkan dan mengembangkan kemampuan mencari dan memanfaatkan sumber dana
dan sumber daya manusia (SDM) secara swadaya murni dari masyarakat dan
pihak-pihak yang peduli dengan pendidikan Islam. Keterlibatan segenap lapisan
masyarakat dalam proses pengembangan dan dinamisasi madrasah diniyah justru
bisa menjadi nilai plus berupa rasa dan komitmen memiliki secara bersama yang
pada akhirnya menguatkan public responsiblility (tanggungjawab publik) terhadap
madrasah diniyah.
Sayangnya
madrasah diniyah yang bisa memanfaatkan nilai plus diatas masih bisa dihitung
dengan jari. Hal ini disebabkan, antara lain, oleh manajemen pengelolaan
pendidikan madrasah diniyah yang terkesan masih konservatif dan asal jalan
sehingga madrasah diniyah pada umumnya lebih mengedepankan filosofi “bagiamana
bisa bertahan” bukan “bagaimana berinovasi” sehingga akhirnya madrasah diniyah
menjadi stagnan. Atau dengan mahfum muwafaqoh (pemahaman selaras) lain yaitu
bahwa madrasah diniyah lebih suka menjebakkan diri dalam jargon
al-muhafazhotu’alal qodiimissholih (melestarikan nilai-nilai lampau yang baik)
dan mengabaikan jargon wal akhdzu bil jadiili ashlah (mencari nilai-nilai baru
yang lebih baik).
Kendala lain, dari segi kurikulum, adalah minimnya
alokasi waktu yang tersedia, yaitu hanya sekitar 3 jam perhari, untuk proses
belajar mengajar yang efektif dan efisien dalam menyampaikan materi ajarnya.
Minimnya penguasaan metode mengajar para ustadz madrasah diniyah memang menjadi
problem tersendiri. Ditambah lagi dengan “intervensi” Departemen Agama dalam
kurikulum berupa pembenaan beberapa mata pelajaran yang kurang perlu seperti
SKI, Fiqih berbahasa Indonesia, Qur’an Hadist dan lain-lain karena sudah
diajarkan pada sekolah pagi seperti MI dan pada mata pelajaran PAI di SD.
Intervensi Depag tersebut pada gilirannya justru sedikit menggerus kekhasan kurikulum
madarasah diniyah yang ala pesantren. Padahal peran Depag dianggap cukup dalam
hal supervisi dan pembinaan manajerial dan administrasi madrasah diniyah saja
dan biarkan pengelola madrasah diniyah membuat dan mengembangkan kurikulum
sendiri yang lebih dibutuhkan dan disesuaikan dengan alokasi waktu pembelajaran
yang relatif sedikit. Problem lain adalah minimnya ketersediaan media
pembelajaran yang mendukung penerapan metode pengajaran seperti kelengkapan
buku sumber, alat peraga dan lain-lain.
Last but not least, ikhtiar menjadikan madrasah
diniyah sebagai institusi pendidikan Islam yang bermutu dan maju memang masih
harus meapaki jalan panjang. Dan pencapaian tujuan tersebut hanya bisa
diejawatkan dengan keseriusan dan motivasi tinggi para pengelola pendidikan
madrasah diniyah untuk tidak melulu berharap dan bergantung kepada political
will pemerintah, tetapi lebih focus untuk memberdayakan dirinya bersama dengan
komunitas masyarakat lokal dimana madrasah diniyah itu eksis dibarengi dengan
inovasi yang tersu menerus dalam manajemen pengelolaan pendidikan yang berbasis
sumber daya manusia. Dan tentu saja keikhlasan para pengelola pendidikan
madrasah diniyah harus tetap menajdi basis inspirasi dan motivasi dalam
mengembangkan madrasah diniyah sebagai sub-kultur pesatren yang merakyat dan
adaptif dengan perkembangan zaman.
KESIMPULAN
Pesantren merupakan kesatuan integral yang tidak lepas dari realitas
obyektif, peran pesantren untuk memberdayakan pendidikan Islam di Indonesia sangatlah
signifikan, tentunya dengan mengapresiasi secara kritis dan memberikan
solusi-solusi praktis atas revitalisasi pendidikan Islam di Indonesia.
Disamping itu juga pendidikan agama Islam juga berperan penting dalam memvitalkan
pendidikan Islam di Indonesia yaitu untuk memenuhi aspirasi masyarakat
se-optimal mungkin telah melakukan banyak langkah strategis yang sangat
berkaitan dengan pengembangan Pendidikan Agama Islam. Ialah mentranformasikan
lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional menjadi bagian dari sistem
pendidikan nasional yang maju. Revitalisasi pendidikan Islam juga bisa dilihat
dari kelembagaan masjid, melalui lembaga masjid kaum muslimin terdahulu mampu
memberikan dampak edukatif bagi perkembangan dan pertumbuhan jiwa anak didik,
sehingga menjadi manusia muslim yang mampu membawa peradaban Islam menuju
puncak keemasan. Kaum muslim dapat naik kepentas peradaban dunia dan mencapai
puncak keemasannya, beramal dari masjid kemudian kaum muslim jatuh dari puncak
keemasannya karena menjauhi masjid.
DAFTAR PUSTAKA
- Barizi, Ahmad.MA. ”Membuat Jendela Pendidikan” Rajawali Pers. 2004
2.
Daradjat, Zakiyah, Dr. Dkk. “Ilmu Pendidikan Islam” Semarang : Bumi Aksara, 2004.
3.
Mas’ud Abdurohman, Ph. D.H Antalogi Studi Agama dan Pendidikan” Semarang : Aneka Ilmu;
2004
4.
Mulkhan, Munir, Abdul Dr. Prof; “Menggagas Pesantren Masa Depan,
Yogyakarta : Qirtas. 2000
5.
IDI, Abdullah, “Revintalisasi Pendidikan Islam” Yogyakarta : Tiara Wacana. 2006.
6.
Khozin “Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia” . Malang : Umai Press: 2003.
[1] Ahmad
Barizi, M.A. Membuat Jendela Pendidikan”
Rajawali Pers. 2004. hal. 37
[2] Dr.
Zakiyah Daradjat, dkk, “Ilmu Pendidikan
Islam. Bumi Aksara, 2004, hal, 28
[3]
Prof. H. Abdurrohman Mas’ud. Ph. D. Antalogi
study agama dan pendidikan, Aneka Ilmu, hal 67.
[4] Prof.
Dr. Abdul Munir Mulkhan SU. Menggagas
Pesantren Masa Depan” hal. 197-202
[5] Abdullah
IDI, Revitalisasi Pendidikan Islam,
Tiara Wacana. 2006 hal, 77-83.
[6] Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia,
UUM Pres, hal 165-169.
Komentar
Posting Komentar